Barber Shop

“Kuliah di mana?” tanya tukang cukur.

“Di ITB”

“Semester berapa?”

“Dah tingkat akhir.”

“Oh, bentar lagi lulus ya.”

Saya hanya tersenyum, karena dalam hati saya agak sesak juga karena saya baru bisa lulus tahun depan.

“Wah, rambutnya keras ya.. Kalo dipotong pendek pasti berdiri neh..”

“Haha.. Iya..”

Tiba-tiba datang seorang bapak yang juga mau dicukur. Karena belum jam 10, tukang cukurnya hanya  dia seorang.

“Sebentar lagi lulus yah?”

Mengulang pertanyaan memang sudah biasa bagi saya ketika bertemu dengan orang yang masih asing. Tapi karena yang ditanya agak menyesakkan, saya kembali hanya bisa tersenyum.

“Sekarang cari kerja susah,” saya coba mengalihkan pembicaraan sedikit.

“Iya, makanya sekarang harus jadi wiraswasta.”

Reaksi saya yang pertama jelas saja terkejut, mengetahui bahwa ternyata seorang tukang cukur dengan percaya dirinya berkata demikian. Reaksi kedua saya adalah menganggap bahwa tukang cukur ini sering membaca surat kabar.

“Iya, harus kreatif sekarang yah..” tandas saya.

Tukang cukur pun mengiyakan, sambil memotong bagian depan rambut saya pendek sekali. Setelah memotong lagi di beberapa sisi lain, dengan hebatnya dia berkata,

“Wah, ga berasa yah, (rambut saya) dah abis (pendek-red)..”

Alhasil, rambut saya yang awalnya berantakan menjadi sangat ‘rapi’. Memang potongan rambut seperti ini tidak akan membuat rugi, karena akan lama tumbuh dan lama juga saya akan kembali ke tukang cukur itu.

Uang sepuluh ribu pun saya keluarkan dari dompet saya. Ada sedikit perasaan dongkol karena hasilnya memang jauh dari harapan. Tapi saya tidak pernah menyesal dicukur di tempat ini, sekalipun saya bisa saja pergi ke salon dengan uang tiga puluh ribu dengan hasil yang memuaskan. Pulang dari barber shop tersebut di Tegallega, saya selalu merapikan lagi guntingannya, kadang-kadang sendiri, tetapi lebih sering oleh mama saya.

Sehari-hari saya suka kesal karena sifat mama yang suka berpikir negatif, walaupun memang kadang-kadang terbukti bahwa pikirannya itu benar. Satu lagi yang sering membuat saya dongkol adalah ketika mamah menjelaskan sesuatu, untuk mengerti sulitnya minta ampun. Tetapi, pada saat inilah saya bisa merasakan kasih sayangnya, merasakan tiap jengkal sentuhan yang lembut darinya. Mungkin inilah alasan mengapa saya tidak pernah menyesal dicukur di barber shop.

Jadi, pilih mana, barber shop atau salon?

4 responses to “Barber Shop

  1. Kadang2 Rambut yang panjang harus Ditata, Rambut yang Pecah-pecah harus dipotong.. Tapi mau berambut pendek atau rambut panjang.., Kehidupan akan ada, dan rambut pasti akan tambah panjang.. 🙂 Nice Blog..

  2. Wah, ga kepikiran sampe situ seh.. Haha..
    Tapi makasih banget buat komentarnya..

  3. vote for barber shop.
    apalagi kalo dipijit..haha

  4. Emang lo suka dipijit, man? Haha…
    Kalo bahasa salon, creambath tapi ga pake krim. 😀

Tinggalkan komentar